Aku adalah manusia, berdarahkan jawa, berkeluarga Listyo, dan beragama Islam. Dulu, aku angkuh. Tak ada yang benar selain apa yang aku ketahui. Semua yang tidak sejalan dengan pikiranku, aku anggap mereka teman, bukan kawan. Ilmu keduniaan aku pelajari dengan baik, dengan teliti, dengan seksama melalui pengalaman pahit yang aku dapati sebelumnya. Jadi diposisi itu aku merasa aku tahu mana yang benar karena aku pernah merasakan apa itu benar, salah, dan susah.
Melihat sosok yang terlalu fanatik terhadap sesuatu sungguh aku benci dahulu, karena mereka akan menuhankan hal yang difanatikkan tersebut. Pada suatu hari, dimana aku melihat temanku yang semakin fanatik terhadap agama, dan dia semakin menjauh dari perkumpulan yang biasa kita rangkum dalam sebuah naungan atap gardu bertikarkan bambu yang hangat. Dia menjauh, dia memulai kesehariannya dengan berpakaian seperti para manusia yang telat pulang dari ibadah haji. Aku selalu berfikir, aku tidak suka melihat seseorang dengan kefanatikan yang besar, namun jika fanatik ini kita lontarkan pada agama, apakah harus aku benci?
Melihat sosok yang terlalu fanatik terhadap sesuatu sungguh aku benci dahulu, karena mereka akan menuhankan hal yang difanatikkan tersebut. Pada suatu hari, dimana aku melihat temanku yang semakin fanatik terhadap agama, dan dia semakin menjauh dari perkumpulan yang biasa kita rangkum dalam sebuah naungan atap gardu bertikarkan bambu yang hangat. Dia menjauh, dia memulai kesehariannya dengan berpakaian seperti para manusia yang telat pulang dari ibadah haji. Aku selalu berfikir, aku tidak suka melihat seseorang dengan kefanatikan yang besar, namun jika fanatik ini kita lontarkan pada agama, apakah harus aku benci?
Agama adalah dasar. Pancasila adalah dasar. Sebuah kemakluman ketika sila pertama menyebut tentang Ketuhanan, karena memang pada dasarnya isi Pancasila hanya terpusat pada sila pertama. Apabila manusia berpegang teguh pada ketuhanannya, dia akan bersikap sesuai dengan norma yang ada dalam agama tersebut. Dan sila selanjutnya adalah sebuah penampakan yang nyata tentang harapan para perintis Pancasila, atau sebuah gambaran yang kongkrit apa yang diharapakan terjadi pada Indonesia dengan Pancasila.
Temanku, Firmansyah, adalah seorang yang aku sebut diatas. Dia yang aku sebut terlalu fanatik dengan agamanya. Namun aku salah, dia tidak sedang memfanatikkan agamanya, dia hanya mencoba totalitas dalam hidup ber-Pancasila. Dia beragama dengan totalitas, bukan fanatik, tapi totalitas. Aku pernah menegurnya di-Facebook,
"Kefanatikanmu akan menjauhkanmu pada orang-orang disekitarmu."
Namun dia menjawab opiniku dengan sangat baik.
"Kawan, Rosulullah pernah berkata kalau pada suatu masa nanti, dimana yang benar dianggap aneh, dan yang salah dianggap biasa."
Setelah balasan itu kalian tau apa yang aku lakukan? Aku terdiam dan berkaca,
"Ya Allah, apakah aku termasuk orang hina yang jauh dari naungan-Mu dan bimbingan Rosul-Mu? Aku malu Ya Allah, aku merasa bukan siapa-siapa disini, aku merasa sebagai manusia yang tak belajar dari Rosul-mu, aku cuma tau siapa Rosulku, dan belum tau apa yang Beliau perbuat. Maafkan aku Ya Allah."
***
Moment ini terjadi setidaknya pada bulan Ramadhan atau sebelum Ramadhan, entah aku lupa detailnya. Dan moment inilah yang membawaku untuk beranjak dari kehinaan menuju kesederhanaan untuk meraih getaran dari-Nya melalui ajaran Rosul-Nya. Sungguh menyesal waktu itu jauh dari lingkup sebagai anak yang soleh.
Tulisan ini, aku tujukan untuk temanku. Terima kasih, kawan. Kau memang
orang yang tak meragu. Semoga kau tetap selalu dalam lingdunga-Nya.
Amin.
Firmansyah. |
Tidak ada komentar
Posting Komentar