Sono

Dari tumblr. -SEASON TWO-

#6

GATHERING MY 23 YEARS

Sometimes, we have to let go. Some other times, we have to keep going. Masuk nih diulang tahun yang paling membahagiakan menurutku, karena emang sudah bisa dan berani milah mana yang pas. Ga banyak yang harus di share sih sebenernya, cuma mau kasih tau aja kalo aku bersyukur. Gimana enggak bray, 23 tahun loh idup ga jelas masih aja disayang orang tua dan masih bisa jajan. XD

#7

Take movies for granted?

First thing first, ga ada maksud personal untuk memojokkan personal-personal yang lain dalam tulisan ini.
Ada dua macem cara orang Indonesia buat nonton film pada umumnya. Ada mereka yang prefer streaming diinternet, juga ada mereka yang prefer screening dibioskop. Ga harus membenar-salahkan siapa-siapa aja yang memiliki kebiasaan tersebut, tapi sebelum kita berseteru dengan yang tidak jadi pilihan kita dan bersepakat dengan pilihan kita, ga salah juga kalo kita tau maksud kedua hal diatas. Dalam sebuah karya, tentu ada jamuan yang nikmat (baca aja apresiasi) yang berujung pada kritik dan saran. Kebetulan aku dididik dilingkungan sastra yang selalu diajak untuk berapresiasi dan menghargai originalitas, aku bakal milih,
“SCREENING, daripada streaming.”
Ga muna juga, aku juga sering nonton film via streaming, tapi setidaknya kalo emang ada bajet, aku selalu usahain screening.
Jadi gini brad, apapun bentuk karya dan hasil dari sebuah karya menurutku cuma punya visi dan misi yang simpel, yaitu mengembangkan kualitas hidup dan menghibur mereka yang bermetabolisme. Tentu buat kita, sebagai customer, harus ngeluarin uang, atau paling engga apresiasi berupa review sebagai revisi buat creatornya.
Sedihnya, kebanyakan temen-temenku kalo liat film itu cuma pengen; (1) bisa hits, (2) bisa checking-in di bioskop, (3) ga ketinggalan info, (4) mojok sama pacar. Jadi mereka menghabiskan waktu buat nonton film cuma buat tontonan, mereka ga ngena gitu maksud film yang mereka tonton, mereka buat fungsi encoding-decoding yang udah melekat diotak produktif mereka ga terpakai. Sedih gitu harus berada dilingkungan yang minim apresiasi.
Setidaknya, jikalau kita bukan seorang creator, setidaknya kita jadi konsumen yang cerdas lah.
Sepinter apapun kalian, kalo environment-nya ga ada insting apresiasi, ga bakal kenilai pinternya.
Cuma bisa berdoa, semoga Tuhan mau berbelas kasih kepada mereka yang ga mau usaha memperbaiki kualitas hidupnya. Amin. 🤒
Happy workday. Hopefully this monday gives hope for better living society.

#8

With or Without Friends?

Kalo iya ada pertanyaan,
“Pilih ada teman atau ga ada teman?”
Aku bakal jawab yang “ga ada teman”. Alasannya simple, mayoritas orang Indonesia yang pernah aku temui sampe aku kenal adalah 89% orang dengan takaran hidup keroket-roketan (baca aja jaim, gengsi, pamer, alus nyombongnya, dsb). Ga muna juga brad, sebagai orang Indo juga, aku ga lepas dari hal-hal tersebut.
Keroket-roketan ini ga asik brad. Bayangkan didua jam kita ngumpul itu dibagi 35% ngobrol, 15% selfie, dan 50% maen hape. Jadi bisa kita banyangin gini,
#pertama - gathering, terus kita selfie, abis selfie, kita luangin waktu upload dulu sambil check in apps.
#kedua - pas ngobrol, obrolan kita nih, kurang informatif dan mendidik. Percuma dong ada diksi “intermezzo” kalo setiap obrolan intermezzo semua, trus mana intermezzonya dong.
#ketiga - setelah semua guyonan dan gosip udah abis, kita masuk ke “fase the sitting-dead” dimana hape idup terus ditangan kita, sambil ngobrol tipis-tipis banget.
#keempat - hingga pada jam pulang, kita rasanya, “ok… kita abis nongkrong, udah foto udah checking-in. Done.” Jadi kapan gitu aku bisa ngerasain pulang dengan inget-inget obrolan pas kita kumpul tadi.
Ga ada maksud menjatuhkan atau apa, mungkin juga aku yang salah, ga bisa adaptasi sama penggunaan teknologi, atau emang belum punya temen seasik temen kalian.
So if only i had a change of having several mindblowing friends, i would ask them out by myself. For now, i still get none.
Luckily, Inneke, the supreme one, a lovely living flower of a woman, is with me. Im lucky tho.
You might think life is flat when you only experience the joy of hanging out with only one person, yet she has a brain who open-mindedly accepts my madness point of views of life.
Furthermore, i like industrial design and architecture, so less is better than lots. 😋

#9

Doctor Strange, brad!

Sekitar 16 jam yang lalu, aku ditemenin temen cewe a.k.a girlfriend nonton film “Doctor Strange”.
First of all, mereka udah berani mampang opening “Marvel Studio”, dan ga bisa bohong lagi, mereka nyiapin studio ini buat keluar dipasaran ngepas sama film Doctor Strange yg bisa dibilang reallife editing movie nya yg emang massive. Dari sini bakal ada kabar baik, kalo next Marvel movie bakal lebih ok FX-nya dari film2 sebelumnya.
Second, i would say “Doctor Stephen Strange is the best version of him in a movie”. Entah kenapa, khasnya mas Bene pas maen Sherlock tetep terasa di film ini. Apalagi kalo dia udah pake pomade, udah deh, kalah umat sejagat sama kerennya dia.
Third, ngomongin yg lebih dalem nih, kadang setiap film, sadar ga sadar, selalu ada satire-nya gitu, brad. Jadi disitu ada karakter namanya “Dormommu” (kalo ga salah) yang dijelasin kalo dia itu Evil Spirit yang mau expand kingdomnya di Bumi. Dia tuh digambarin sebagai makhluk yang ESA. Anggep aja tuhan atau dewa deh. Tapi sebagai yg ESA, dia masih kalah sama Strange gegara pemikiran Time-loop yg dia buat (jadi inget Dr. Who pas Clara mau die).
In the end, i like to ask then, kalian tau kalo yg ESA itu immortal dan sejati, tapi Strange ngalahin dia dengan kekuatan pikiran yg basically dia punya, kok bisa sih?
No offense guys, yg aku ngerti sih, apapun yg keliatan mata pasti bisa manusia hadapi, kenapa? Karena dengan melihat kita mengerti. Jadi, aku kasih tips nih, kalo kalian mau unbeateble, stop showing off, let our work speaks, jadi pesaing kita ga bakal bisa ngerusak proses kita.

---

Enjoy my past. May the force be with you!

Tidak ada komentar

Posting Komentar