Dia yang bernama Ali, tak lagi mampu
menahan diri. Memendam terlalu lama pikiran sehat. Tak mampu keluar dari
kebencian.
Ucapan Ibunya, “Ibu tak lagi punya uang untukmu, sayangku. Belajarlah jadi malu.”
hanya menjadi cermin penyesalan disetiap detik kedipan
mata bercampur air mata. Ali terpaksa ditempatkan disebuah pesantren karena tak
ada lagi uang yang dapat dikeluarkan untuk pendidikannya.
“Hi, Ali. Aku teman se kamarmu di pesantren ini.”, sahut Joni.
Ali tersenyum kecil. Dia hanya berusaha ramah.
“Jika kau benar, bawa aku ke kamar kita.”, jawabnya dengan suara pelan.
Berjalan beriringan menuju sebuah
gubuk kecil dengan dua tempat tidur, dua meja belajar, dua lemari, dua lampu
belajar, dan dua anak yang secara tak langsung akan terikat sebagai sahabat.
“Kau suka tempat ini?”, Ali tersenyum kecil, “Aku yang menata semua ini.”, sahut Joni.
Ali yang setengah
hati untuk hidup ditempat ini, mulai menutupi benci dengan keramahan Joni.
“Aku Ali, kau pasti Joni. Namamu tertulis jelas difoto yang berdiri dimeja belajarmu.”. Joni tersenyum, “Aku suka Joni. Namaku dari orang difoto ini. Tak tahu siapa. Tapi aku suka Joni.”, Ali mengerutkan alis dan bertanya, “Aku mencoba mengerti apa yang kau ucapkan tadi.”, Joni tertawa dan bertingkah seperti melihat sebuah drama komedi.
Joni adalah anak yang diam untuk hal
pribadi. Dia terlahir sebagai seorang bayi lelaki yang dibuang dikandang
kambing milik Pak Husain, seorang kyai dan pemilik pesantren. Dia tak diberi
nama. Hingga menemukan sebuah kalender dengan foto dan nama, yaitu Joni. Joni
telah 21 tahun hidup dan belajar di Pesantren Laguna. Mensyukuri ketidak
sempurnaan duniawi yang mengaruniainya. Berbeda dengan Ali yang tumbuh sebagai
anak cerdas di kota, yang memilih berdiam di Pesantren Laguna karena tak ada
lagi uang setelah ayahnya yang baru saja terbunuh oleh serangan jantung.
“Joni, apakah dipesantren ini penuh dengan benda ilmiah?”, Ali beharap, “Tentu, Ali. Kau tak akan terlalu terhantui kehidupan kotamu. Disini tak jauh beda dengan sekolahmu dikota. Jika kau bertanya ilmu pengetahuan, semua ada disini. Kenapa kau bertanya?”, sahut Joni.
Ali berdiam dan merenung. Dia
berterima kasih untuk ini karena dia tak mau berhenti bermimpi bertemu ayahnya
kembali.
“Hei Ali, jawablah!”, Joni mengentikan renungannya. “Ayahku telah meninggal, dan aku ingin bertemu dengannya lagi.”, jawab Ali.
Joni terkagum, namun dia tak mampu menutupi ketidak-mungkinan tentang hal
itu.
“Apakah kau akan menghidupkan ayahmu?”, tanya Joni. Dengan tatapan berambisi Ali menjawab, “Aku yang akan kembali diwaktu ayahku masih hidup.”. Joni terkagum setengah percaya. “Kau mau bantu aku, Joni?”, tanya Ali, “Tentu aku mau.”.
Pesantren menjadi saksi kecerdasan
mereka. Sebuah kombinasi antara pengetahuan agama dan sains. Joni menjelaskan
segala hal tentang dimensi lain atau yang sering kita tahu dengan dunia gaib.
Joni menjelas satu per satu memasuki dunia gaib menurut agama. Ali mencatatnya
dengan rapi selagi memikirkan apakah ada hubungan antara dunia gaib dan
4-dimensi. Dalam otaknya hanya terfokus pada satu garis besar. Dia sangat jeli
memikirkan hal ini. Hingga Joni mengungkap sebuah rahasia kecil.
“Apa yang kau butuhkan, Ali?”, tanya Joni. “Aku hanya butuh benda yang memiliki energi kinetik yang kuat. Kau tahu sesuatu?”, jawab Ali tegas.
Joni tampak kebingungan. Dia tak
pernah tahu istilah-istilah ilmiah dalam fisika. Mukanya tampak memaksa
mengerti dengan senyum kecil yang hampir tak terlihat. Joni tak tahu apa itu
kinetic. Hingga Ali menjelaskan bahwa energi kinetik yang dia maksud adalah
energi yang dimiliki benda saat bergerak.
“Dengar Joni! Ketika kau berlari kencang, waktu akan semakin lambat, dan ketika kau berlari sangat kencang waktu akan berhenti, namun ada satu lagi, tapi ini terlalu hayal untukku, ketika kau berlari dengan kecepatan melebihi kecepatan cahaya, waktu akan mundur. Itulah yang aku maksud ingin menemui ayahku. Aku ingin merubah masa lalu.”, jelas Ali.
Joni mengedipkan matanya dengan
perlahan seakan dia tak sanggup menangkap imajinasi yang dapat menjadi
kenyataan. Joni teringat akan batu akik milik Pak Husain yang telah lama tidak
dipakai. Batu itu disimpah dilemari pengimaman masjid dan lemari itu tidak
dikunci. Batu akik itu bertuah. Makhluk gaib dibatu itu layaknya karpet terbang
Aladin yang mampu melaju dengan sangat kencang.
“Tunggu Ali. Aku punya sesuatu.”, ucap Joni sebelum meninggalkan Ali di gubuk mereka.
Joni berlari
menuju masjid. Dia buka lemari Pak Husain dan mengambil batu itu.
“Lihat ini, Ali. Batu ini bertuah. Bisa membawamu pergi ke suatu tempat dengan sangat cepat. Kau cukup genggam batu ini, tutup matamu, dan bacalah surat Yasin. Lalu pikirkan kau ingin kemana. Sekejab kau akan sampai ketempat yang kau fikirkan.”, jelas Joni. “Baiklah, kita punya kecepatan itu. Sekarang kita butuh black-hole.”, sahut Ali.
Joni kembali berkedip perlahan. Dia
bingung lagi.
“Black-hole? Lubang pantat kah?”, tanyanya dengan polos.
Ali tertawa dan memegang perutnya yang
kram.
“Kau sudah gila, Joni. Black-hole adalah ruang waktu yang memungkinkan kita tak kembali dimasa ini ketika kita memasukinya. Itu berarti kita sepenuhnya merubah masa lalu dan kita dapat tahu masa depan dimana kenyataan kita sekarang ini. Inilah waktu kita untuk memperbaiki ini.”, jelas Ali menggebu-gebu. “Bukankah itu pertanda kita tak bersyukur?”, tanya Joni. “Aku tak ingin menjadi Tuhan. Aku hanya ingin mendekati imajinasi nyata Tuhan.”, tegas Ali.
Merasa sebagai teman, Joni mengikuti
cara berfikir Ali. Dia mengajak Ali ke halaman belakang pesantren. Terdapat dua
pohon asam yang berdampingan dan rantingnya saling menyatu diatas sehingga
nampak seperti gerbang tanpa tutup.
“Kau tahu, Ali? Mungkin black-hole yang kau tahu memang aku tak tahu. Tapi ini mungkin jawabannya. Waktu aku kecil, pak Husain melarangku melintasi ruang ditengah pohon ini. Ini sebuah gerbang dimensi lain. Dengan kecepatan petuah batu akik itu, waktu akan mundur. Dan melintasi gerbang gaib ini, kita tak akan kembali. Sama seperti black-hole yang kau maksud.”, ujar Joni dengan percaya diri.
“Apa kau siap?”, tanya Ali. “Semua ini untukmu, kawan. Aku tak terlahir untuk tahu orang tuaku. Aku cukup dengan aku. Jika mati membuatku dosa, jadi bawalah aku menghilang. Aku bosan menjadi Joni yang tak memili tujuan. Bawalah aku kesuatu tujuan, Ali. Dan aku akan berterima kasih pada Allah telah mengenalmu.”
Ali menangis mendengar kepasrahan
Joni. Joni sudah terlalu bersyukur atas jiwa dan raganya. Namun ayah masih
menjadi peryesalan bagi Ali. Dia tetap bertekat untuk hal ini.
“Joni, mau kau namakan apa kita ini?”, tanya Ali. “Religiosains Throw Portal.”, jawab Joni dengan batu akik ditangan kanan dan tangan kiri menggenggam tangan kanan Ali.
“Bagaimana kau bisa menemukan nama itu? Kau gila.”, sahut Ali. “Aku juga bermain game sama sepertimu dan disini aku juga belajar bahasa Inggris. Dasar kau anak kota!”, jawab Joni.
Mereka mulai membuka surat Yasin.
Berpegangan tangan. Menutup mata.
Dan Ali berkata, “Hi petuah, bawa kami gerbang goib itu dengan kecepatan yang sangat cepat sehingga kami dapat kembali kewaktu lalu, 5 tahun yang lalu, dan kami berharap, semoga Allah mengampuni kami."
Mereka pun lenyap. Tak ada satu pun yang tahu.
Dan cerita mereka menjadi sebuah legenda di Pesantren Laguna. Entah mereka
berhasil atau tidak, yang nampak adalah kekosongan. Tak pernah ada yang tahu
mereka dimana. Mungkin mereka telah hidup di lima tahun yang lalu.
***
Cerpen ini aku tulis pada 12 Oktober 2014. Lumayan lah, buat nutup nilai ujian akhir kuliah Creative Writting.
***
Cerpen ini aku tulis pada 12 Oktober 2014. Lumayan lah, buat nutup nilai ujian akhir kuliah Creative Writting.
Tidak ada komentar
Posting Komentar