Sono

Haruskah sebuah kata "maaf"?

Sebuah pertanyaan besar ketika pada teori tertulis,

"Jika kamu bersalah, kamu wajib minta maaf dan berlapang dada menerima sanksi."

Namun aku mendapatan perbedaan sosial dari teori ini.

***

Punya teman lama, sudah sekitar dua tahun tak bertemu. Saat ini dipertemukan kembali dalam situasi kegiatan pembelajaran mata kuliah umum, karena kami memang beda fakultas, jadi hanya MKU yang bisa memposisikan kita bisa seruangan.

Bertatap muka dengan sequence yang lumayan lama mungkin akan membuat canggung. Aku pun juga. Kuliah berakhir, semua mahasiswa di ruangan itu keluar. Aku keluar, dan dia keluar. Tak sengaja bertemu kembali di pintu masuk perpustakaan. Sedangkan aku dalam posisi:

Tas menggantung sebelah dilengan kanan, tangan kanan megang cellphone, dan tangan kiri megang buku.

Saat bertemu, dia menyapa,

"Hai!"

Aku menjawab,

"Hei!"

Tak kusangka dia mengayunkan tangannya pada saat aku berjalan seakan ingin bersalaman, dan ternyata memang ngajak salaman. Salahnya aku gak peka. Dan aku merasa bersalah.

Setelah moment itu, aku langung mencari namanya dikontak cellphoneku. Beruntungnya ada, dan aku sms dia, mengucapkan maaf. Dan mencoba memberikan pengertian bahwa aku salah karena aku gak peka kalau mau diajak salaman.

---

Satu minggu kemudian tentu kita bertemu dalam kelas MKU lagi. Namun, tak ada satu pun ucap sapa darinya. Mungkin dia merasa tersinggung setelah aku meminta maaf. Seandainya aku tak minta maaf, mungkin moment itu tak akan berdampak seperti ini. Janggung.

***

Namun tradisi minta maaf itu masih harus dikembangkan, karena itu jembatan hati, dari hati yang meninggi dengan yang terhina.

Sekian, selamat belajar.

Tidak ada komentar

Posting Komentar